- Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik
a) Perkembangan fisik
Fisik atau tubuh manusia merupakan
sistem organ yang kompleks dan sangat mengagumkan. Semua organ ini terbentuk
pada periode pranatal (dalam kandungan). Berkaitan dengan perkembangan fisik
ini Kuhlen dan Thompson (Hurlock, 1956) mengemukakan bahwa perkembangan fisik
individu meliputi empat aspek, yaitu (1) Sistem syaraf, yang sangat
mempengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi; (2) Otot-otot, yang
mempengaruhi perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik; (3) Kelenjar
Endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti pada
usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang
sebagian anggotanya terdiri atas lawan jenis; dan (4) Struktur Fisik/Tubuh,
yang meliputi tinggi, berat, dan proporsi.
Awal dari perkembangan pribadi
seseorang asasnya bersifat biologis. Dalam taraf-taraf perkembangan
selanjutnya, normlitas dari konstitusi, struktur dan kondisi talian dengan
masalah Body-Image, self-concept, self-esteem dan rasa harga dirinya.
Perkembangannya fisik ini mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
1. Perkembangan anatomis
Perkembangan anatomis ditunjukkan
dengan adanya perubahan kuantitatif pada struktur tulang belulang. Indeks
tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi garis keajegan
badan badan secara keseluruhan.
2. Perkembangan fisiologi
Perkembangan fisiologis ditandai
dengan adanya perubahan-perubahan secara kuantitatif, kualitatif dan fungsional
dari sistem-sistem kerja hayati seperti konstraksi otot, peredaran darah dan
pernafasan, persyaratan, sekresi kelenjcar dan pencernaan.
Aspek fisiologi yang sangat penting
bagi kehidupan manusia adalah otak (brain). Otak dapat dikatakan sebagai pusat
atau sentral perkembangan dan fungsi kemanusiaan. Otak ini terdiri atas 100
miliar sel syaraf (neuron), dan setiap sel syaraf tersebut, rata-rata memiliki
sekitar 3000 koneksi (hubungan) dengan sel-sel syaraf yang lainnya. Neuron ini
terdiri dari inti sel (nucleus) dan sel body yang berfungsi sebagai penyalur
aktivitas dari sel syaraf yang satu ke sel yang lainnya.
b) Perkembangan perilaku psikomotorik
Perilaku psikomotorik memerlukan
koordinasi fungsional antara neuronmuscular system (persyarafan dan otot) dan
fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif).
Loree (1970 : 75) menyatakan bahwa
ada dua macam perilaku psikomotorik utama yang bersifat universal harus di
kuasai oleh setiap individu pada masa bayi atau awal masa kanak-kanaknya ialah
berjalan (walking) dan memegang benda (prehension). Kedua jenis
keterampilan psikomotorik ini merupakan basis bagi perkembangan keterampilan
yang lebih kompleks seperti yang kita kenal dengan sebutan bermain (playing)
dan bekerja (working).
Dua prinsip perkembangan utama yang
tampak dalam semua bentuk perilaku psikomotorik ialah (1) bahwa perkembangan
itu berlangsung dan yang sederhana kepada yang kompleks, dan (2) dan yang kasar
dan global (gross bodily movements) kepada yang halus dan spesifik
tetapi terkoordinasikan (finely coordinated movements).
a. Berjalan dan Memegang Benda
Keterampilan berjalan diawali dengan
gerakan-gerakan psikomotor dasar (locomotion) yang harus dikuasainya
selama tahun pertama dari kehidupannya. Perkembangan psikomotorik dasar itu
berlangsung secara sekuensial, sebagai berikut: (1) keterampilan bergulir (roil
over) dan telentang menjadi telungkup (5 : 8 bulan), (2) gerak duduk (sit
up) yang bebas (8,3 bulan), (3) berdiri bebas (9,0 bulan) berjalan dengan
bebas (13,8 bulan) (Lorre, 1970: 75).
Dengan demikian, maka dalam gerakan-gerakan
psikornotorik dasar itu tingkatan perkembangan penguasaannya sudah dapat
diprediksi. Kalau teradi kelambatan-kelambatan dan ukuran normalitas waktu di
atas, berarti menandakan adanya kelainan tertentu.
Keterampilan memegang benda, sampai
dengan 6, bulan pertama dan kelahirannya barulah merupakan gerakan meraih
benda-benda yang ditarik ke dekat badannya dengan seluruh lengannya. Baru mulai
pada masa enam bulan kedua dan kelahirannya, jari-jemarinya dapat berangsur
digunakan memungut dan memegang erat-erat benda, seraya memasukkan ke mulutnya.
Keterampilan memegang secara bebas baru dicapai pula setelah keterampilan
berjalan bebas dikuasai.
b. Bermain dan Bekerja
Dengan dikuasainya keterampilan
berjalan, anak bergerak sepanjang han ke segenap ruangan dan halaman rumah nya
seperti tidak mengenal lelah, kadang-kadang berjalan, berlari, memanjat,
melompat, dan sebagainya. Hampir setiap benda yang ada di sekitarnya
disentuhnya, diguncang, dirobek, atau dilemparnya. Kalau kepada mereka
diberikan atau disediakan alat-alat mainan tertentu mulailah mereka menyusunnya
menyerupai konstruksi tertentu.
Mulai usia 4-5 tahun bermain
konstruksi yang fantastik itu dapat beralih kepada berbagai bentuk gerakan
bermain yang ritmis dan dinamis, tetapi belum terikat dengan aturan-aturan
tertentu yang ketat.
Pada usia masa anak sekolah,
permainan fantastik berkembang kepada permainan yang realistik yang melibatkan
gerakan-gerakan yang lebih kompleks disertai aturan-aturan yang ketat.
Pada usia remaja kegiatan motorik
sudah tertuju kepada persiapan-persiapan kerja, keterampilan-keterampilan
menulis, mengetik, menjahit, dan sebagainya sangat tepat saatnya mulai
dikembangkan.
c. Proses Perkembangan Motorik
Di samping faktor-faktor hereditas,
faktor-faktor lingkungan alamiah, sosial, kultural, nutrisi dan gizi serta
kesempatan dan latihan merupakan hal-hal yang sangat berpengaruh terhadap
proses dan produk perkembangan fisik? dan perilaku psikomotorik.
2. Perkembangan Bahasa dan Perilaku
Kognitis
a) Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan kemampuan untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini tercakup semua cara untuk
berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau
simbol untuk mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti dengan menggunakan
lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik muka.
Bahasa merupakan faktor hakiki yang
membedakan manusia dengan hewan. Bahasa merupakan anugerah dari Allah Swt, yang
dengannya manusia dapat mengenal atau memahami dirinya, sesama manusia, alam,
dan penciptanya serta mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan
mengembangkan budayanya.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan
perkembangan berpikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam
perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat,
dan menarik kesimpulan.
Perkembangan pikiran itu dimulai
pada usia 1,6-2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat dua atau
tiga kata. Laju perkembangan itu sebagai berikut.
a. Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun
pendapat positif, seperti: “bapak makan”.
b. Usia 2,6 tahun, anak dapat menyusun
pendapat negatif (menyangkal), seperti: “Bapak tidak makan”.
c. Pada usia selanjutnya, anak dapat
menyusun pendapat:
1) Kritikan: “ini tidak boleh, ini
tidak baik”.
2) Keragu-raguan: barangkali, mungkin,
bisa jadi, ini terjadi apabila anak sudah menyadari akan kemungkinan ke
khilafannya.
3) Menarik kesimpulan analogi, seperti:
anak melihat ayahnya tidur karena sakit, pada waktu lain anak melihat ibunya
tidur, dia mengatakan bahwa ibu tidur karena sakit.
Dalam berbahasa, anak dituntut untuk
menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok yang satu sama lainnya saling
berkaitan. Apabila anak berhasil menuntaskan tugas yang satu, maka berarti juga
ia dapat menuntaskan tugas-tugas yang lainnya. Keempat tugas itu adalah sebagai
berikut:
1) Pemahaman, yaitu kemampuan memahami
makna ucapan orang lain. Bayi memahami bahasa orang lain, bukan memahami
kata-kata yang diucapkannya, tetapi dengan memahami kegiatan /gerakan atau
gesturenya (bahasa tubuhnya).
2) Pengembangan Perbendaharaan
kata-kata anak berkembang dimulai secara lambat pada usia dua tahun pertama,
kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia pra-sekolah dan terus meningkat
setelah anak masuk sekolah.
3) Penyusunan Kata-kata menjadt
kalimat, kemampuan menyusun kata-kata menjadi kalimat pada umumnya berkembang
sebelum usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat
satu kata) dengan disertai: “gesture” untuk melengkapi cara benpikirnya.
4) Ucapan. Kemampuan kata-kata
merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang
didengar anak dan orang lain (terutama orangtuanya). Pada usia bayi, antara
11-18 bulan, pada umumnya mereka belum dapat berbicara atau mengucapkan
kata-kata secara jelas, sehingga sering tidak dimengerti maksudnya. Kejelasan
ucapan itu baru tercapai pada usia sekitar tiga tahun. Hasil studi tentang
suara dan kombinasi suara menunjukkan bahwa anak mengalami kemudahan dan
kesulitan dalam huruf-huruf tertentu.
Ada dua tipe perkembangan bahasa
anak, yaitu sebagai berikut.
1. Eqocentric Speech
2. Socialized Speech, yang terjadi ketika
berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau dengan lingkungannya.
Perkembangan ini dibagi ke dalam lima bentuk: (a) adapted information,
di sini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari,
(b) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah
laku orang lain, (c) command (perintah), request (permintaan) dan
threat (ancaman), (d) questions (pertanyaan), dan (e) answers
(jawaban).
Berbicara monolog (egocentric
speech) berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak yang pada
umumnya di lakukan oleh anak berusia 2-3 tahun; sementara yang “sociaized
speech” mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial (social adjustment).
Perkembangan
bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut yaitu:
1. Faktor Kesehatan. Kesehatan
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak, terutama
pada usia awal kehidupannya. Apabila pada usia dua tahun pertama, anak
mengalami sakit terus-menerus, maka anak tersebut cenderung akan mengalami
kelambatan atau kesulitan dalam perkembangan bahasanya. Oleh karena itu, untuk
memelihara perkembangan bahasa anak secara normal, orangtua perlu memper
hatikan kondisi kesehatan anak. Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan cara
memberikan ASI, makanan yang bergizi, memelihara kebersihan tubuh anak atau
secara reguler memeriksakan anak ke dokter atau ke puskesmas.
2. Inteligensi Perkembangan bahasa anak
dapat dilihat dari tingkat inteligensinya. Anak yang perkembangan bahasanya
cepat, pada umumnya mempunyai inteligensi normal atau di atas normal.).
3. Status Sosial Ekonorni Keluarga.
Beberapa studi tentang hubungan antara perkembangan bahasa dengan status sosial
ekonomi keluarga menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin
mengalami kelambatan dalam perkembangan bahasa dibandingkan dengan anak yang
berasal dari keluarga yang lebih baik. Kondisi ini terjadi mungkin disebabkan
oleh perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar (keluarga miskin diduga
kurang memperhatikan perkembangan bahasa anaknya), atau kedua-duanya (Hetzer
& Reindorf dalam E. Hurlock. 1956).
4. Jenis kelamin (Sex). Pada
tahun pertama usia anak, tidak ada perbedaan dalam vokalisasi antara pria
dengan wanita. Namun mulai usia dua tahun, anak wanita menunjukkan perkembangan
yang lebih cepat dari anak pria.
5. Hubungan Keluarga. Hubungan ini
dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan
lingkungan keluarga, terutama dengan orangtua yang mengajar, melatih dan
memberikan contoh berbahasa kepada anak.
b) Perkembangan Bahasa dan Perilaku
Kognitif
Istilah “cognitive” berasal
dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui.
Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan
penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah
kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah
psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan
pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan,
dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan
konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa
(Chaplin, 1972).
Sebagian besar psikolog terutama
kognitivis (ahli psikologi kognitif) berkeyakinan bahwa proses perkembangan
kognitif manusia mulai berlangsung sejak ia baru lahir. Bekal dan modal dasar
perkembangan manusia, yakni kapasitas motor dan kapasitas sensori seperti yang
telah penyusun uraikan di muka, ternyata sampai batas tertentu, juga
dipengaruhi oleh aktivitas ranah kognitif. Pada poin 1 bagian ini telah
penyusun utarakan, bahwa campur tangan sel-sel otak terhadap perkembangan bayi
baru dimulai setelah ia berusia 5 bulan saat kemampuan sensorinya (seperti
melihat dan mendengar) benar-benar mulai tampak.
Menurut para ahli psikologi
kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif sudah mulai berjalan sejak
manusia itu mulai mendaya unakan kapasitas motor dan sensorinya. Hanya, cara
dan intensitas pendayagunaan kapasitas ranah kognitif tersebut tentu masih
belum jelas benar. Argumen yang dikemukakan para ahli mengenai hal mi antara
lain ialah bahwa kapasitas sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir
tidak mungkin dapat diaktifkan tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi
tersebut. Sebagai bukti, jika seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan
otak, kecil sekali kemungkinan bayi tersebut dapat mengotomatisasikan
refleks-refieks motorde dan daya-daya sensorinya. Otomatisasi refleks dan
sensori, menurut para ahli, tidak pernah terlepas sama sekali dan aktivitas
ranah kognitif, sebab pusat refleks sendiri terdapat dalam otak, sedangkan otak
adalah pusat ranah kognitif manusia.
Selanjutnya, seorang pakar terkemuka
dalam disiplin psikologi kognitif dari anak, Jean Piaget (sebut: Jin Piasye),
yang hidup antara tahun 1896 sampai tahun 1980, mengklasifikasikan perkembangan
kognitif anak menjadi empat tahapan.
1. Tahap sensory-motor yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun.
2. Tahap pre-operational, yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun.
3. Tahap concrete-operational,
yang terjadi pada usia 7-11 tahun
4. Tahap formal-operational, yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun (Daehler &
Bukatko, 1985; Best, 1989; Anderson, 1990).
Istilah-istilah khusus dan
arti-artinya yang berhubungan dengan prose perkembangan kognitif anak versi
Piaget tersebut:
1. Sensory-motor schema (skema sensori-motor) ialah sebuah
atau serangkaian perilaku terbuka yang tersusun secara sistematis untuk
merespons lingkungan (barang, orang, keadaan, kejadian).
2. Cognitive schema (skema kognitif), ialah perilaku
tertutup berupa tatanan langkah-langkah kognitif (operations) yang berfungsi
memahami apa yang tersirat atau menyimpulkan lingkungan yang direspons.
3. Object permanance (ketetapan benda) yakni anggapan
bahwa sebuah benda akan tetap ada walaupun sudah ditinggalkan atau tidak
dilihat lagi;
4. Assimilation (asimilasi), yakni proses aktif
dalam menggunakan skema untuk merespons lingkungan.
5. Accomodation (akomodasi), yakni penyesuajan
aplikasi skema yang cocok dengan lingkungan yang direspons.
6. Equilibrium (ekuilibrium), yakni keseimbangan
antara skema yang digunakan dengan lingkungan yang direspons sebagai hasil
ketepatan akomodasi.
Terdapat hubungan yang amat erat
antara perkembangan bahasa dan perilaku kognitif. Taraf-taraf penguasaan
keterampilan berbahasa dipengaruhi, bahkan bergantung pada tingkat-tingkat
kematangan dalam kemampuan intelektual. Sebaliknya, bahasa merupakan sarana dan
alat yang strategis bagi 1ajunya perkembangan perilaku kognitif.
Perkembangan
fungsi-fungsi dan perilaku kognitif itu menurut Loree.(1970:77), dapat dideskripsikan
dengan dua cara dua ialah secara kualitatif dan secara kuantitatif.
1. Perkembangan Fungsi-Fungsi Kognitif
secara Kuantitatif
Perkembangan fungsi-fungsi kognitif
secara kuantitatif dapat dikembangkan berdasarkan basil laporan berbagai studi
pengukuran dengan menggunakan tes inteligensi sebagai alat ukurnya, yang
dilakukan secara longitudinal terhadap sekelompok subjek dan sampai ke
tingkatan usia tertentu (3-5 tahun sampai usia 30-35 tahun, misalnya) secara
test-retest yang alat ukurnya disusun secara sekuensial (Standford Revision
Binet Test). Dengan menggunakan hasil pengukuran tes yang rnencakup General
Information and Verbal Analogies, Jones and Conrad (Loree, 1970:78) telah
mengembangkan sebuah kurva perkembangan inteligensi, yang dapat ditafsirkan
antara lain sebagai berikut:
a) Laju perkembangan inteligensi
berlangsung sangat pesat sampai ,masa remaja awal, setelah itu kepesatan nya
berangsur menurun.
b) Puncak perkembangan pada umumnya
dicapai di penghujung masa remaja akhir (sekitar usia dua puluhan);
perubahan-perubahan yang amat tipis sampai usia 50 tahun, setelah itu terjadi
plateau (mapan) sampai usia 60 tahun, untuk selanjutnya berangsur menurun
(deklinasi).
c) Terdapat variasi dalam saatnya dan
laju kecepatan deklinasi menurut jenis-jenis kecakapan khusus tertentu.
2. Perkembangan Perilaku Kognitif
secara Kualitatif
Piaget membagi proses perkembangan
fungsi dan peri itu ke dalam empat tahapan utama yang secara kualitatif setiap
tahapan menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda.
a)
Sensorimotor period (0,0 - 2,0).
Periode ini ditandai penggunaan
sensorimotorik (dalam pengamatan penginderaan) yang intensif terhadap dunia
sekitar. Prestasi intelektual yang dicapai dalam periode ini ialah perkembangan
bahasa, hubungan tentang obyek kontrol skema, kerangka berpikir, pembentukan
pengertian, pengenalan hubungan sebab-akibat. Perilaku kognitif tampak antara
lain:
1) menyadari dirinya berbeda dan
benda-befl sekitarnya;
2) sensitive terhadap rangsangan suara
dan cahaya;
3) mencoba bertahan pada
pengalaman-pengalaman yang menarik;
4) mendefinisikan objek/benda dengan
manipulasinya;
5) mulai memahami ketetapan makna suatu
objek meskipun lokasi dan posisinya berubah.
b) Preoperational. period (2,0 - 7,0). Periode ini
terbagi ke dalam dua tahapan ialah preconceptual (2,0-4,0) dan intuitive
(4,0 - 7,0). Periode preconceptual ditandai dengan cara berpikir yang bersifat
transduktif (menarik konklusi tentang sesuatu yang khusus; sapi disebut juga
kerbau). Periode intuitif ditandai oleh dominasi pengamatan yang bersifat
egocentric (belum memahami cara orang lain memandang objek yang sama), seperti
searah (selancar). Perilaku kognitif yang tampak antara lain:
1) self-centered dalam memandang
dunianya;
2) dapat mengklasifikasikan objek-objek
atas dasar satu ciri tertentu yang memiliki ciri yang sama, mungkin pula
memiliki perbedaan dalam hal yang lainnya;
3) dapat melakukan koleksi benda-benda
berdasarkan suatu ciri atau kriteria tertentu;
4) dapat menyusun benda-benda, tetapi
belum dapat menarik inferensi dan dua benda yang tidak her sentuhan meskipun
terdapat dalam susunan yang sama.
c) Concrete erational (7,0 - 11 or 12,0)
Tiga kemampuan dan kecakapan yang
baru yang menandai periode ini, ialah: rnengklasifikasikan angka-angka atau
bilangan. Dalam periode mi anak mulai pula mengkonservasi pengetahuan tertentu.
Perilaku kognitif yang tampak pada periode ini ialah kemampuannya dalam proses
berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat
dengan objek-objek yang bersifat konkret.
d) Formal operational period (11,0 or
12,0 - 14,0 or 15,0)
Periode ini ditandai dengan
kernampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat
lagi oleh objek-objek yang bersifat konkrit. Pen laku kognitif yang tampak pada
kita antara lain:
1) kemampuan berpikir
hipotetis-deduktif (hypothetico-deductive thinking);
2) kemampuan mengembangkan suatu
kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada (a combinational
analysis);
3) kemampuan mengembangkan suatu
proporsi atau dasar proporsi-proporsi yang diketahui (proportional thinking);
4) kemampuan menarik generalisasi dan
inferensasi dan berbagai kategori objek yang beragam.
Tokoh lain yang melakukan studi
terhadap masalah ini secara mendalam ialah Jerome Bruner (1966) ia membagi
proses
perkembangan perilaku kognitif ke
dalam tiga periode ialah:
1) enactive stage, merupakan suatu masa ketika
individu berusaha memahami lingkungannya. tahap mi mirip dengan sensorimotor
period dan Piaget;
2) iconic stage, yang mendekati kepada
preoperational period dan Piaget; dan
3) symbolic stage, yang juga mendekati ciri-ciri
formal operational peniode dan Piaget.
Dari telaahan kita terhadap
perkembangan bahasa dan perilaku serta fungsi-fungsi kognitif itu, jelaslah
mempunyai implikasi yang sangat penting bagi pengernbangan sistem dan praktik
pendidikan seperti yang disarankan oleh Gage & Berliner (1975:375-378),
antara lain para pendidik seyogianya mampu untuk melaksanakan hal-hal berikut:
(1) intellectual empathy;
(2) using concrete objects;
(3) using inductive approach;
(4) sequencing instruction;
(5) taking amount of fit of new
experience;
(6) applying student self-regulation
principles;
(7) developing cognitive values of
interaction.
3. Perkembangan Perilaku Sosial,
Moralitas dan Keagamaan
1) Perkembangan Perilaku sosial
Secara potensial (fitriah) manusia
dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon), kata Plato.
Namun, untuk mewujudkan potensi
tersebut ia harus berada dalam interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain
(ingat kisah Singh Zingh di India dan Itard di Perancis, bayi yang disusui dan
dibesarkan binatang tidak dapat dididik kembali untuk menjadi manusia biasa).
a. Proses sosialisasi dan perkembangan social
Secepat individu menyadari bahwa di
luar dirinya itu ada orang lain, maka mulailah pula menyadari bahwa ia harus
belajar apa yang seyogianya ia perbuat seperti yang diharapkan orang lain.
Proses belajar untuk menjadi makhluk sosial ini disebut sosialisasi.
Loree (1970:86) dengan menyitir
pendapat English & English (1958) menjelaskan lebih lanjut bahwa
sosialisasi itu merupakan suatu proses di mana individu (terutama anak) melatih
kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan
dan tuntutan kehidupan (kelornpoknya); belajar bergaul dengan dan bertingkah
laku seperti orang lain, bertingkah laku di dalam lingkungan sosio-kulturalnya.
Perkembangan sosial, dengan demikian
dapat diartikan sebagai sequence dari perubahan yang bersinambungan dalam
perilaku individu untuk menjadi rnakhluk sosial yang dewasa. Charlotte Buhier
mengidentifikasikan perkembangan sosial ini dalam term kesadaran hubungan aku
engkau atau hubungan subjektif-objektif. Proses perkembangannya berlangsung
secara berirama.
b. Kecenderungan Pola Orientasi Sosial
Branson (Loree, 1970:87-89)
mengidentifikasi berdasarkan hasil studi longitudinalnya terhadap anak usia
5-16 tahun bahwa ada tiga pola kecenderungan sosial pada anak, ialah (1)
withdrawal-expansive, (2) reactivity-placidity dan passivity-dominance. Kalau seseorang
telah memperhatikan orientasinya pada salah satu pola tersebut, maka cenderung
diikutinya sampai dewasa.
2) Perkembangan Moralitas
a. Perkembangan Moral
stilah moral berasal dari kata Latin
“mos” (Moris), yang berarti adat istiadat peraturan/nilai-nilai atau tatacara
kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan
peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu,
seperti (a) seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan
keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan (b) larangan
mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang dapat
dikatakan bermoral, apabila tingkah laku tersebut sesuai dengan nilai-nilai
moral yang dijunjung tingi kelompok sosialnya.
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Moral
Perkembangan moral seorang anak
banyak dipengaruhi oleh lingkungan Anak memperoleh nilai-nilai moral dan
lingkungannya dan orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai sesuai
dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orangtua
sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap
orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan Perkembangan moral anak, di
antaranya sebagai berikut.
a) Kolsisten dalam rnendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap
dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu
ke pada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu
waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
c. Sikap orangtua dalarn keluarga
Secara tidak langsung, sikap
orangtua terhadap anak, sikap ayah dan ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi
perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi) Sikap orangtua
yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak,
sedangkan sikap yang acuh tak acuh, atau sikap masa bodoh cenderung
mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada
din anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang
keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan konsisten
d. Penghayatan dan pengamalan agama
yang dianut
Orang tua merupakan panut (teladah)
bagi anak, termasuk di sini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua
yang menciptakan iklim yang religius (agamis) dengan cara membersihkan ajaran
atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami
Perkembangan moral yang baik.
d. Sikap orangtua dalam menerapkan
norma
Orang yang tidak menghendaki anaknya
berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhka dirinya dan
Perilaku berbohong atau tidak jujur.
3) Proses Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak dapat
berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut.
1. Pendidikan langsung, yaitu melalui
penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan
buruk oleh orangtua, guru atau orang dewasa lainnya. Di samping itu, yang
paling penting dalam pendidikan moral mi, adalah keteladanan dan orangtua, guru
atau orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral
2. Identifikasi, yaitu dengan cara
mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang
menjadi idolanya (seperti orangtua, guru, kiai, artis atau orang dewasa lainnya).
3. Proses coba-coba (trial &
error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba.
Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus .di
kembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan
dihentikannya.
4) Perkembangan Penghayatan Keagamaan
1. Tahapan Perkembangan Penghayatan
Keagamaan
Sejalan perkembangan kesadaran
moralitas, perkembangan penghayatan keagarnaan, yang erat hubungannya dengan
perkembangan intelektual di samping emosional dan volisional (konatifl,
mengalami perkembangan. Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William
James) sependapat bahwa pada garis besarnya per kembangan penghayatan keagamaan
itu dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan karakteristik
yang berbeda. Tahapan-tahapan itu ialah sebagai berikut.
a. Pertama. Masa kanak-kanak (sampai
usia tujuh tahun) yang ditandai, antara lain oleh:
1) sikap keagamaan reseptif meskipun
banyak ber anya;
2) pandangan ke-Tuhan-an yang
anthropormorph (dipersonifikasikafi)
3) penghayatan secara rohaniah masih
superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau partisipasi
dalam berbagai kegiatan ritual;
4) hal ke-Tuhan-an dipahamkan secara
ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan
kognitifnya yang masih bersifat ego centric (memandang segala sesuatu dan sudut
dirinya).
b. Kedua. Masa anak sekolah (7-8 sampai
11-12 tahun), yang ditandai, antara lain, oleh:
1) sikap keagamaan bersifat reseptif
tetapi disertai pengertian
2) pandangan dan paham ke-Tuhan-an
diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber
pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dan eksistensi dan
keagungan-Nya;
3) penghayatan secara rohaniah makin
mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.
4) Ketiga. Masa remaja (12-18 tahun)
yang dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan, ialah:
c. masa remaja awal, yang ditandai,
antara lain, oleh:
1. sikap negatif (meskipun tidak selalu
terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan
orang-orang her agama secara hypocrit (pura-pura) yang peng akuan dan ucapannya
tidak selalu selaras dengan perbuatannya;
2. pandangan dalam hal ke-Tuhan-annya
menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mende ngar berbagai konsep dan
pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama
lain;
3. penghayatan rohaniahnya cenderung
skeptic (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai
kegiatan ritual yang selama mi dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
d. masa remaja akhir, yang ditandai,
antara lain, oleh:
1. sikap kembali, pada umumnya, ke arab
positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi
pegangan hidup nya menjelang dewasa;
2. pandangan dalam hal ke-Tuhan-an
dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya;
3. penghayatan rohaniahnya kembali
tenang setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan
antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik
(saleh) dan yang tidak. Ta juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham
dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogianya diterima sebagai kenyataan
dunia ini.
2. Proses Pertumbuhan Penghayatan
Keagamaan
Para ahli (Zakiah, Starbuch, dan
lain-lain) juga sependapat bahwa meskipun tahapan proses perkembangan seperti
di atas merupakan gej ala yang universal, namun terdapat variasi yang luas,
pada tingkat individual maupun pada tingkat kelompok (keluarga, daerah, aliran,
paham) tertentu. Peranan lingkungan keluarga sangat penting dalam pembinaan
penghayatan keagamaan mi (Zakiah Daradjat, 1970:4-102).
4. Perkembangan Perilaku Afektif,
Konatif dan Kepribadian
a. Perkembangan Fungsi-Fungsi Konatif
dan Hubungannya dengan Pembentukan
Fungsi konatif atau motivasi itu
merupakan faktor penggerak perilaku manusia yang bersumber terutama pada
kebutuhan-kebutuhan dasarnya (basic needs). Jenis-jenis kebutuhan manusia itu
berkembang mulai dari sifat yang alami (misalnya, kebutuhan dasar biologis)
sampai kepada yang bersifat dipelajari sebagai pengalaman interaksi dengan
lingkungannya.
Di dalam kenyataan yang berkembang
itu bukanlah jenis motif atau kebutuhan, melainkan beberapa sifatnya, misalnya
objek dan caranya, itensitasnya, dan sebagainya.
b. Perkembangan Emosional dan Perilaku
Afektif
Emosi itu dapat didefinisikan
sebagai suatu suasana yang kompleks ( a complex feeling state) dan getaran jiwa
(a strid up state) yang menyertai atau muncul sebelum /sesudah terjadinya
perilaku.
Aspek emosional dari suatu perilaku,
pada umumnya, selalu melibatkan tiga variabel, yaitu rangsangan yang
menimbulkan emosi (the stimulus variable), perubahan-perubahan
fisiologis, yang terjadi bila mengalami emosi (the organismic variable),
dan pola sambutan ekspresi atau terjadinya pengalaman emosional itu (the
response variable).
Emosi sebagai suatu peristiwa
psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
1)
Lebih
bersifat subjektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan
dan berpikir.
2)
Bersifat
fluktuatif (tidak tetap)
3)
Banyak
bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.
Emosi dapat
dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan emosi kejiwaan
(psikis).
a.
Emosi
sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dan luar terhadap tubuh,
seperti: rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
b.
Emosi
psikis, di antaranya adalah:
1)
Perasaan
Intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran.
2)
Perasaan
Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan orang lain, baik
bersifat perorangan maupun kelompok.
3)
Perasaan
Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai balk dan buruk atau
etika moral.
4)
Perasaan
Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan dan
sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun kerohanian.
5)
Perasaan
Ketuhanan. Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan, dianugerahi
fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya. Perkembangan
Kepribadian?
b)
Perkembangan
Kepribadian
1.
Pengertian
Kepribadian
Istilah kepribadian
merupakan terjemahan dan Bahasa Inggris o7iai’t’ istilah personality secara
etimologis berasal dan bahasa Latin “person” (kedok) dan “personare”
(menembus). Persona biasanya dipakai oleh para pemain sandiwara pada zaman kuno
untuk memerankan satu bentuk tingkah laku dan karakter pribad Sedangkan yang
dimaksud dengan personare adalah bahwa pemain sandiwara itu dengan melalui
kedoknya berusaha menembus keluar untuk mengekspresikan satu bentuk gambaran
manusia tertentu. Misalnya; seorang pemurung, pendiam, periang, peramah,
pemarah, dan sebagainya. Jadi persona itu bukan pribadi pemain itu sendiri,
tetapi gambaran pribadi dan tipe manusia tertentu dengan melalui kedok yang
dipakainya.
Kepribadian dapat juga
diartikan sebagai “kualitas perilaku individu yang tamj alamrnelakukan
penyesuaian dirinya terhadap ling \kungan secara unik” Keunikan penyesuaian
tersebut sangat berkaitan dengan aspek-aspek kepribadian itu sendiri, yaitu
meliputi hal-hal berikut.
1)
Karakter,
yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika pen laku, konsisten atau teguh
tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
2)
Temperamen,
yaitu disposisi reaktif seseorang, atau cepat/lambatnya mereaksi terhadap
rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan
3)
Sikap
terhadap objek (orang, benda, peristiwa, norma dan sebagainya) yang bersifat
positif, negatif atau ambivalen (ragu-ragu).
4)
Stabilitas
emosi, yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dan
lingkungan. Seperti: mudah tidaknya tersinggung marah, sedih atau putus asa.
5)
ResponsibilitaS
(tanggung jawab), kesiapan untuk menerima risiko dan tindakan atau perbuatan
yang dilakukan. Seperti: mau menerima risiko secara wajar, cuci tangan, atau
melarikan diri risiko yang dihadapi.
6)
Sosiabilitas,
yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Disposisi
ini seperti tampak dalam sifat pribadi yang tertutup atau terbuka; dan
kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
2.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Kepribadian
Kepribadian
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik hereditas (pembawaan) maupun lingkungan
(seperti: fisik, sosial, kebudayaan, spiritual).
a.
Fisik.
Faktor yang dipandang mempengaruhi perkembangai kepribadian adalah postur tubuh
(langsing, gemuk, pendek atau tinggi), kecantikan (cantik atau tidak cantik),
kesehatan (sehat atau sakit-sakitan), keutuhan tubuh (utuh atau cacat), dan
keberfungsian organ tubuh.
b.
Inteligensi.
Tingkat intelegensi individu dapat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya.
Individu yang inteligensinya tinggi atau normal biasa mampu menyesuaikan din
dengan lingkungannya secara wajar, sedangkan yang rendah biasanya sering
mengalami hambatan atau kendala dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
c.
Keluarga.
Suasana atau iklim keluarga sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak.
Seorang anak yang dibesar kan dalam Iingkungan keluarga yang harmonis dan
agamis dalam arti, orangtua memberikan curahan kasih sayang, perhatian serta
bimbingan dalam kehidupan berkeluarga, maka perkembangan kepribadian anak
tersebut cenderung positif. Adapun anak yang dikembangkan dalam lingkungan
keluarga yang broken home, kurang harmonis, orangtua bersikap keras terhadap
anak atau tidak memperhatikan nilai-nilai agama dalam keluarga, maka
perkembangan kepribadiannya cenderung akan mengalami distorsi atau mengalami
kelainan dalam penyesuaian dirinya (maladjustment).
d.
Teman
sebaya (peer group). Setelah masuk sekolah, anak mulai bergaul dengan teman
sebayanya dan menjadi anggota dan kelompoknya. Pada saat inilah dia mulai
mengalihkan perhatiannya untuk mengembangkan sifat-sifat atau perilaku yang
cocok atau dikagumi oleh teman-temannya, walaupun mungkin tidak sesuai dengan
harapan orangtuanya. Melalui hubungan ini terpersonal dengan teman sebaya, anak
belajar menilai dirinya sendiri dan kedudukannya dalam kelompok. Bagi anak yang
kurang mendapat kasih sayang dan bimbingan keagamaan atau etika dan
orangtuanya, biasanya kurang memiliki kemampuan selektif dalam memilih teman
dan mudah sekali terpengaruh oleh sifat dan perilaku kelompoknya.
e.
Kebudayaan.
Setiap kelompok masyarakat (bangsa, ras, atau suku bangsa) memiliki tnadisi,
adat, atau kebudaya yang khas.
3.
Perubahan
Keprbadian
faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya perubaha ke dalam tiga kategori, yaitu:
a.
Faktor
organik, seperti: makanan, obat, infeksi, dan gangguan organik.
b.
Faktor
lingkungan sosial budaya, seperti: pendidikan, nekreasi dan partisipasi sosial.
c.
Faktor
dari dalam individu itu sendiri, seperti: tekanan emosional identifikasi
terhadap orang lain, dan imitasi.
4.
Karakteristik
Kepribadian
E.B. Hurlock (1986)
mengemukakan bahwa penyesuaian yang sehat atau kepribadian yang sehat (healthy
personality) ditandai dengan karakteristik sebagai berikut.
a.
Mampu
menilai diri secara realities
b.
Mampu
menilai situasi secara realistik.
c.
Mampu
menilai prestasi yang diperoleh secara realistik.
d.
Menerima
tanggung jawab.
e.
Kemandirian
(autonomi).
f.
Dapat
mengontrol emosi.
g.
Berorientasi
tujuan.
h.
Berorientasi
keluar.
i.
Penerimaan
sosial.
j.
Memiliki
filsafat hidup.
k.
Berbahagia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar